BEAUTIFUL SCARS


Takdir mempertemukan mereka karna sebuah ikatan tipis dari masa lalu. Terlalu samar hingga tak ada yang menyadarinya.


Kembali dipertemukan untuk saling membebaskan diri dari belenggu kesakitan. Menjadi penyembuh satu sama lain.


Hingga keduanya tenggelam akan perasaan masing-masing. Menjadi egois diatas luka yang disembunyikan. Mempertahankan kata ‘cinta’ yang menjadi penghubung keduanya.

 

Namun, takdir seolah berkata tak begitu cara penyembuhannya.

 

Perlahan belenggu dari luka-luka itu terbuka. Membebaskan keperihan yang membentuk kegelapan itu kembali.

 

Rasa sakit dan perih yang tak terelakkan. Menghujam pisau ditempat yang sama.

 

Mencoba mempertahankan tapi terlalu menyakitkan.

 

Langkah mereka menjadi tak serempak. Sorot mata memandang bayangan yang menjauh. Melukiskan jejak air mata diwajah.

 

Hingga perih itu mencapai batasnya. Kata menyerah tak bisa dihindari.

 

Memilih untuk berhenti berharap. Karna sakit yang sudah tak tertampungi.

Bagaimana mereka saling menunjukkan ketika yang dilakukan hanya bersembunyi?

Bagaimana mereka saling menguatkan diatas kerapuhan?

Bagaimana mereka saling menjaga ketika merekalah rasa sakit itu?

 

Takdir yang mempertemukan mereka—Apa takdir juga akan tega memisahkan mereka?

 

‘mengenalmu adalah cara indah tuhan menghukum semua kesalahanku,al—Vincent Kim’

‘keberadaanku adalah bagaimana caramu mengingatku,vin—Allea Park’

 

*****

 

Desember, Musim Dingin

 

Dentingan lembut not - not piano yang membentuk nada indah itu menjadi temanku untuk menikmati gelapnya langit malam. Entah darimana asalnya tapi nada-nada lembut itu senada dengan bulan purnama yang tampak indah dengan sinar terangnya diatas sana. Bersamaan dengan ribuan bintang yang setia menemaninya.

 

Dinginnya angin malam seolah menusuk hingga ketulang. Suhu udara sudah mencapai 9oC. Tapi jalanan kota masih tampak ramai. Beberapa orang terlihat berlalu lalang dengan senyum indah yang merekah diwajah mereka. Lampu warna-warni yang menghiasi sisi jalan menambah kesan indah dimalam hari ini.

 

Senyum tipis terukir diwajahku. Perlahan kepingan salju – salju kecil mulai terlihat mengapung diudara, terbang perlahan menuju tanah dan membasahinya.

 

Salju pertama dibulan desember. Semua orang menyambut dengan antusias akan datangnya salju ini. Beberapa orang menyambut kedatangannya bersama keluarga dan pasangannya. Tapi berbeda denganku.

 

Salju pertamaku ditahun ini. Lagi – lagi hanya bisa aku rasakan dibalkon kamar rumah sakit. Ini sudah tahun ke-7 aku tinggal disini. Sejak umurku 15 tahun aku menghabiskan masa remajaku disini.

 

Beberapa orang akan membuat harapan disetiap salju pertama mereka. Jika aku boleh berharap aku hanya ingin diberi kesempatan waktu.

 

Kesempatan untuk merasakan hidup layaknya sebagai orang dewasa normal. Hidup dengan nyaman dengan keluarga, berinteraksi secara normal dengan orang lain. Dan juga merasakan jatuh cinta.

 

‘hanya itu kumohon’

 

Ku genggam erat salju pertama yang jatuh ditelapak tanganku. Sembari meneriakkan harapanku didalam hati.

 

*****

Ditempat lain. Gelapnya malam yang dibarengi hujan lebat seolah tak menjadi masalah bagi beberapa orang yang sedang bersembunyi dibalik dinding. Dengan nafas yang tersenggal-senggal sesekali orang itu mengintip kearah ruangan didalam gedung yang gelap.

 

“aku menemukan jalan masuk ikuti aku” ucapnya kearahnya sesuatu yang menempel dirompi bahu kanannya, dengan isyarat tangan dia dan beberapa orang yang mengikutinya dari belakang masuk kedalam gedung itu. Mengendap-ngendap memperkecil pergerakan. Memegang erat senapan besar ditangan mereka.

 

“komandan kalian bisa masuk, yang lain lindungi komandan penjagaan mereka mulai ketat”

 

Arahan yang berasal dari tempat yang jauh darisana menyebar keseluruh anggota lewat earphone kecil yang menyelip ditelinga mereka. Tanpa pergerakan yang ceroboh mereka melakukan pergerakan sesuai rencana, dalam hitungan detik sang komandan dan 5 anak buah lainnya berhasil mengepung sekitar 30 orang yang berada dalam ruangan tertutup. Tak ada jalan keluar.

 

Suara tembakan menggema diseluruh ruang. Teriakan dari orang-orang yang kesakitkan karna peluru seolah tak mengiharukan sang komandan untuk terus melaju menuju orang yang dianggapnya sebagai ketua komplotan.

 

“b—bagaimana bisa? Aku sudah menembakmu 6 kali” orang dihadapan sang komandan berdiri ketakutan, menatap mata yang begitu tajam.

 

“khawatirkan saja dirimu” suara berat nan rendah yang begitu mengintimidasi memicu rasa takut dan merinding bagi siapapun yang mendengarnya. Orang dihadapannya sudah bertekuk lutut karna mulut senapan sudah menempel didahinya.

 

“t—the fox? Itu kau?” dengan takut-takut orang itu masih saja bertanya, ditangan orang yang akan merenggut nyawanya.

 

Orang yang dipanggilnya the fox itu membuka masker yang menutupi setengah wajahnya, berhasil membuat orang dihadapannya yang awalnya sudah ketakutan jadi semakin ketakutan. Dia sekarang sudah berdiri diujung tebing yang dibawahnya berisi pohon berduri.

 

“ya”

 

DOORR....DOORR....

 

Suara tembakan yang terdengar 2 kali menjadi penutup aksi saling tembak dimalam penuh darah itu.

 

*****

 

1 Tahun sejak kejadian dimalam penuh darah itu. Seorang laki-laki yang dulu disebut sebagai komandan dipaksa untuk melepas gelarnya itu. Bukan hanya gelarnya yang diambil, namun dia juga dipaksa keluar dari kemiliteran.

 

Siapa sangka kalau 2 peluru yang dikeluarkannya ternyata mengarah pada nyawa seorang anak dari Presiden negara tetangga. Dia tau seharusnya ada satu orang yang seharusnya tidak dia bunuh. Tapi ada satu hal yang membuat sang the fox tak bisa mengenali wajah musuhnya. Rahasia itu dia fikir tidak akan menganggu pekerjaannya tapi ternyata malah rahasia itu sendiri adalah kesialannya.

 

DDDRRTT....DDRRTT...

 

Suara dering ponsel mengusik tidurnya, dilihat itu panggilan masuk dari seseorang yang namanya nampak blur karna sorot mata yang belum bisa fokus. Yang dia tau saat dia menerima panggilan itu, suasana masih berada ditengah malam.

 

“hmm?” suaranya yang berat menegur malas seseorang disebrang sana,

 

“aku didepan pintu, berapa kodenya?”

 

“980530” jawabnya begitu saja, dia tidak akan memberikan kode dengan mudahnya kalau dia tidak mengenal si lawan bicaranya.


BRUK.... kali ini sesuatu yang dilempar dari jauh membangunkannya, dengan rambut yang berantakan bekas tidur dia mengangkat kepala mendudukkan diri diatas kasur.

 

“vincent, bersiap-siap cepat”

 

Dengusan berat terdengar dominan, alis laki-laki bernama vincent itu mengerut jadi satu memandang malas kearah sahabatnya itu.

 

“mau kemana sih?”

 

“korea, helikopter sudah menunggumu”

 

Bibirnya mengatup hampir tertawa, “korea? Yang benar saja? Jimin, kau tau aku tidak boleh meninggalkan negara ini kan?”

 

“huhh...kau akan ditahan dikorea dalam pengawasan kak jin, militer juga mengizinkan. Kalaupun kau harus membusuk menunggu hukumanmu, lebih baik kau membusuk dinegaramu sendiri”

 

Jimin sibuk mengambil setelan baju vincent didalam lemari sedang vincent masih duduk diatas kasurnya,

 

“sudah cepat bergerak, aku menunggu diluar”

 

Menuruti perkataan jimin, vincent segera mengganti pakaiannya. Tidak ada barang yang dibawanya, kecuali ponsel yang diletakkannya ke microwave dalam keadaan nyala. 10 detik kemudian suara ledakan ponsel terdengar cukup besar lalu kembali hening.

 

“kenapa?”, vincent menggedikkan bahunya “sudah tidak kubutuhkan lagi” jawabnya seolah bukan masalah besar.


Sepanjang koridor menuju lift dipenuhi orang-orang yang bertugas menjaga vincent agar tak melakukan aksi kabur. Bahkan vincent tau ada beberapa sniper dari segala arah yang siap meluncurkan peluru kekepalanya. 


‘merepotkan, lagi pula siapa yang mau kabur dari apartemen dilantai 14 ini’


Seperti yang dikatakan jimin helikopter sudah menunggu diroof dan siap membawa mereka terbang kekorea. Didalam helikopter itu sudah ada jin yang menunggu, dalam hitungan menit helikopter sudah berada diudara dengan kecepatan yang stabil. Meninggalkan negara yang mungkin akan segera vincent kembali kesana.

 

“aku tidak bisa mengubah keputusan pengadilan soal kau yang membunuh anak presiden meski dia juga dinyatakan bersalah, jadi aku hanya bisa membantumu sedikit” jelas jin,

 

“tidak apa-apa lagi pula aku tidak berharap banyak”

 

“tapi kau diperbolehkan untuk bekerja denganku” vincent mendongakkan kepalanya menatap jin,

 

“bukan pekerjaan seperti saat kau dimiliter saat ini segala perizinan senjatamu dicabut, kau akan bekerja sebagai bodyguard untuk adikku”

 

Mata vincent menyipit, dia tidak pernah mendengar kenalannya ini mempunyai adik lain selain jimin.

 

“sialan, kau sangat beruntung bisa selalu dekat dengannya” keluh jimin yang nampak iri,

 

*****

 

Sekitar 5 jam berada diudara mereka akhirnya mendarat diheli park gedung milik keluarga jin, yang dimana gedung itu adalah sebuah rumah sakit. Vincent mengikuti jimin dan jin yang berjalan lebih dulu didepannya.

 

‘siapa yang sakit?’ fikirnya,

 

Pertanyaan itu langsung terjawab kala dia memasuki ruangan seorang perempuan yang sedang terlelap. Vincent sedikit takjub melihat ruangan pasien yang malah terlihat seperti rumah. Semua lengkap, TV, Sofa, video game, mini kitchen, lemari kamar mandi, komputer sudah seperti satu apartemen.

 

Tapi yang menghuni hanya satu orang, selesai matanya berkeliling melihat seisi ruang. Vincent kembali fokus pada perempuan yang tidur berposisi miring sembari memeluk selimutnya, nampak begitu lelap.

 

“park allea adik perempuan kami”

 

“kenapa kakak memintaku untuk menjaganya, bukankah kalian punya perusahaan jasa bodyguard?” vincent mengikuti jimin dan jin yang duduk disofa,

 

“karna kau satu-satunya yang bisa kupercaya” jawab jimin, dibarengi dengan anggukan jin menyetujui.

 

“jadi kalian membawaku kembali hanya untuk menjaganya?”

 

“kurang lebih seperti itu”

 

Ada perasaan sedikit kesal mendengar jawaban jimin, tapi vincent juga cukup berterima kasih sudah diselamatkan dari apartemen pengantar nyawa itu.

 

“kau tidak akan dijaga seketat saat kau dikroasia, disini seluruh militer dan polisi berada dipihakmu, hanya saja kau harus menetap disini. Dikorea, diseoul, tidak boleh keluar kota apalagi keluar negri, izin persenjataanmu dicabut, dan kau dikel----Aaa...Aaa sudah sudah aku sudah mengerti jadi tugasku hanya menjaganya kan?  24 jam?”

 

Jimin dan jin mengangguk beiringan,

 

“tempat tinggalku?”......”jl.xxxx apartemen no.3”.....”gajiku?.....eh tidak perlu, lagi pula kapan aku bisa menghabiskan semua uangku kalau semakin bertambah”

 

“cihh....sombong” jimin sedikit terkekeh diakhir ucapannya, satu hal yang dia syukuri setelah 1 tahun tidak bertemu setelah misinya ternyata vincent masih tetap menjadi orang yang sama.

 

“jadi kapan aku mulai bekerja?”

 

“besok”

 

*****

The First Time We Met...

 

Teriknya matahari menggangu retina allea yang bersembunyi dibalik kelopaknya, dengan mata yang masih sipit allea melihat kearah jam dinding. Pukul 8 pagi, bagi allea masih terlalu pagi untuk bangun ingin kembali tidur tapi kesalnya tirai jendela sudah dibuka.

 

“HOOAAAAMMMM!!!!.....krek...krek...ahh..nyenyaknya” allea merenggangkan semua ototnya membuat suara-suara dari pergerakannya.

 

Tanpa menyadari ada orang didalam ruangannya, allea bertindak seperti biasanya kala dia sendirian. Meski allea seorang pasien tapi rumah sakit sudah seperti rumahnya sendiri, jadi tidur dengan setelan piyama berlengan pendek dan bercelana pendek begitu nyaman baginya. Tangan allea dengan meracik kopi paginya seolah sudah terbiasa. Mencuci wajahnya diwastafel sembari menunggu stimer,

 

“hari ini.....ehm...uhh therapy mental lagi, menyebalkan sudah berapa kali aku minta berhenti tapi tidak juga disetujui, padahal mentalku baik-baik saja” allea berbicara sembari melihat note yang tertempel dikulkas. Note yang selalu diletakkan dokternya, untuk mengingatkan allea.

 

“ssllrrppp.....PYUUUHHHH!!! AAAWWW PANAS PANAS!!! YA?! KAU SIAPA?!!” panas dari kopi membakar didalam mulutnya, dia begitu kaget mendapati vincent yang berdiri disamping pintu kamarnya dekat dinding, dan baru saja membungkuk kearah allea.

 

/////

 

“baik kak, iya iya aku mengerti” allea langsung menutup sambungan telfonnya dengan jin. Tentu saja allea baru mendengar penjelasan dari jin perihal siapa orang asing yang ada dikamarnya itu.

 

“kau kesini” vincent mengikuti titah allea, berdiri dihadapan allea yang duduk disisi ranjang menyisakan beberapa langkah jarak. Bagi allea ini sudah kesekian kalinya kedua kakaknya itu mengutus seseorang untuk menjadi bodyguard allea. Kesibukan keduanya membuat mereka tidak bisa menjaga allea dengan baik,

 

Tapi tidak satupun dari utusan-utusan itu yang bertahan lama, 1 bulan bertahan saja sudah paling lama. Mereka akan pergi kala saat berhadapan dengan ingatan jangka pendek milik allea,

 

Allea berdiri sembari menyilangkan tangan didepan dada, memperhatikan vincent dari atas hinggan bawah lalu sebaliknya lagi mata menajam layaknya alat scan. Dan sekali lagi allea dihadapkan oleh salah seorang utusan.

 

“jadi kau bodyguardku ya”

 

Allea melangkahkan kakinya mendekat, 3 langkah terlewati. Jarak mereka tinggal tersisa 2 langkah lagi sampai allea benar-benar berada didekatnya. Allea ingin melihat reaksi vincent apakah dia akan menjauh atau tidak, tapi  ternyata dia masih berada ditempat sembari mengunci tatapan allea.

 

“jika aku mendekat lebih dari ini apa kau akan mundur?”

 

“tidak jika kau tidak meminta” jawab vincent, menimbulkan perasaan aneh untuk allea,

 

‘oho...menarik’

 

“namamu?”//”vincent”

 

”umur?”//”24 tahun”

 

”tinggi?”//”184 cm”

 

”apa kau dari JSK?” (nama perusahaan jasa bodyguad milik jin)

 

”bukan?”

 

”lalu?”

 

Pertanyaan kali ini vincent tidak menjawab, tidak ada yang memintanya untuk merahasiakan pekerjaannya yang lalu, tapi vincent merasa akan lebih baik kalau perempuan dihadapannya ini tidak tau.

 

“kenapa tidak menjawab?” titah allea dengan sedikit pemaksaan,

 

“aku hanya orang biasa” Allea menyipitkan matanya menatap lebih dalam, tapi sepertinya vincent tidak berbohong.

 

“baiklah, aku percaya. Aku akan beritahu peraturannya setelah aku mandi tunggu disini”

 

Allea meninggalkan vincent untuk membersihkan dirinya, merendam tubuh sampai batas mulut dalam bathup. Mata allea tertutup, kepalanya diisi oleh seseorang yang ada diluar pintu kamar mandi. Allea sudah biasa punya bodyguard tapi kali ini dia punya feeling yang berbeda, bodyguard barunya begitu menarik rasa keingintahuan allea.

 

Mungkin aura vincent memang terasa begitu tertutup.

 

‘menarik’

 

20 menit kemudian allea keluar dengan setelan baju pasien berwarna biru muda selutut. Tapi yang membuat allea tertegun adalah dia yang mendapati vincent berada dalam posisi yang sama seperti 20 menit yang lalu.

 

‘uwaaahh...benar-benar tunggu disini ya’

 

Allea berjalan pelan kehadapannya, dan langsung disambut dengan tatapan mata dengan sudut setajam mata rubah.

 

“apa kau benar-benar tidak berpindah dari sini?” vincent hanya mengangguk. Sedikit membuat kesal allea karna baru kali ini dia menemukan orang yang begitu irit bicara,

 

/////

 

Jam 5 sore allea baru saja keluar dari ruang therapynya, hari ini ada beberapa treatment yang harus dia jalani. Jadi tubuhnya begitu lelah, sesampainya dikamar allea langsung berbaring ditempat tidurnya. Bantalnya langsung terasa nyaman dikepala, kepalanya sedikit miring. Mendapati seseorang yang berdiri disebelah ranjangnya,

 

“kau siapa? Bodyguard baru?”

 

Mata vincent membesar kaget, namun dia kembali mengontrol ekspresinya tidak mau menyinggung lawan bicara ini. Vincent tau soal alzhemair allea, tapi tetap saja terkejut melihat secara langsung allea yang begitu cepat melupakannya.

 

“aku vincent, bodyguardmu”

 

Vincent terlambat menjawab, allea tidak mendengarnya. Dia sudah tidur karna kelelahan. Dan untuk pertama kalinya vincent merasa ada sesuatu yang menggelitik benaknya kala melihat wajah allea yang begitu tenangnya

 

Sesuatu yang mungkin mulai disebut peduli.

 

*****

Never Felt A Feeling Of A Comfort...

 

Lagi-lagi allea terbangun dipagi hari dengan sekujur tubuh yang pegal. Berjalan gontai kearah mini kitchen, membuat kopi paginya. Lalu melihat kearah note yang ada dikulkas ‘free time’. Helaan nafasnya menghembus melepaskan kelegaan, merasa sangat bersyukur karna akhinya bisa istirahat.

 

“vincent?” dia nampak kaget saat allea sebut namanya, seolah allea adalah orang yang tau-tau mengenalnya sebelum dia mengenalkan diri.

 

Allea duduk disofa, menyalakan Tv ditemani semangkuk sereal ditangan. Dan sangat-sangat tidak nyaman saat mendapati tatapan seseorang dari belakang.

 

“duduk disini dan berhenti menatapku dari belakang” seperti mengerti ucapan allea mengarah padanya vincent segera menghampiri allea, tapi dia tak juga duduk.

 

“kenapa?”

 

“ehm...aku duduk dimana?” well, sofa area tv itu hanya ada satu yang berukuran panjang, dan sisanya lebih ke tempat duduk comfy yang ada dibawah.

 

“disebelahku” dia nampak kikuk untuk duduk, aku sedikit bergeser agar memberi ruang lebih untuknya, menepuk sisi sofa yang kosong. Dia duduk dengan tegapnya, pandangannya lurus kedepan. Kedua tangannya terkepal rapi diatas paha, sembari menatapnya senyumku tersungging. ‘Menggemaskan’

 

“mau ini?” tawar allea mengarahkan mangkuk ditangannya, vincent langsung membalas dengan gelengan sigap. Lalu kembali fokus kedepan.

 

‘orang ini....aku benar-benar ingin tau seperti apa dia’benak allea bergumam,

 

“pernah pergi kefestival?” acara televisi sedang memberi kabar soal festival musim gugur,

 

“tidak” jawab vincent singkat, lagi-lagi sikap acuh tak acuhnya mengambil fokus allea.

 

“aku juga tidak pernah, kalaupun pernah aku akan lupa saat pulang ihhiii”

 

allea tersenyum dengan gigi rapat yang ditunjukkannya, matanya menyipit membentuk lengkungan senyum, seolah itu hal yang biasa. Namun, beberapa detik kemudian lengkung senyum indah itu menurun membentuk garis lurus tak berekspresi. Satu hal yang vincent tangkap dari perempuan dihadapannya ini,

 

‘sorotnya sama sekali tak bahagia’

 

“oh iya aku mau minta maaf kalau nanti aku tiba-tiba melupakanmu, aku punya ingatan jangka pendek, jadi jangan jengkel ya hahaha”

 

Wajah vincent sama sekali tak berekspresi, tak ada respon namun benaknya merespon dia mulai tak menyukai mendengar suara tawa yang sama sekali tak menghibur itu. Sosok didepannya mulai sok kuat padahal sudah jelas dia sakit, entah sejak kapan dia sembunyikan kenyataan dengan senyuman yang malah membuatnya terlihat menyedihkan.

 

“saya permisi sebentar”

 

“kenapa? aku menjengkelkan ya?” tak sempat vincent bangun dia kembali terduduk,

 

“iya” jawabanya keluar begitu saja tak terfilter, vincent sudah menahan diri tapi sepertinya dia tetap tidak bisa.

 

“ppffttt....ternyata selama ini kau mendengarkanku ya?”

 

Vincent menoleh, apa selama ini dia terlihat tidak mendengarkan fikirnya.

 

“jadi bagian mana yang membuatmu jengkel?” allea meletakkan mangkuk kemeja. Mengubah posisi duduknya menghadap vincent dengan kepala yang ditopang kepalan tangan disisi sofa.

 

“senyummu”

 

“kenapa dengan senyumku?” vincent agak ragu-ragu untuk menjawab, dia takut menyinggung.

 

“katakan saja” titah allea,

 

“bukan karna senyummu tidak indah, tapi karna kau hanya berpura-pura” pandangan vincent dialihkan dia tidak bisa berbicara sembari melihat lawan bicaranya,

 

“ppffttt....aaaHAHAahaHAHA, lucu sekali....kau ini benar-benar menarik ya. Orang-orang selalu bilang senyumku indah tapi kau bilang aku berpura-pura, hahaha lucu sekali...eh---?”

 

Tawa allea terhenti seketika, fikirannya sedang memproses apa yang baru saja terjadi. Hidungnya sedang beradaptasi dengan aroma asing yang harum, aroma parfum seseorang didepannya. Terasa amat sangat telapak tangan besar mengusap pelan belakang kepala dan menahan punggungnya.

 

“jangan tertawa lagi, itu menyakitkan”

 

Dekapnya dieratkan saat suara bisikan terdengar begitu jelas ditelinga allea. Alih-alih ingin melepas pelukan vincent, allea malah semakin menenggelamkan kepalanya diceruk leher vincent.

 

“bodoh” ucap allea dengan suara yang bergetar karna menahan isak tangis yang seketika saja keluar. Untuk pertama kalinya orang asing yang baru ditemui allea mengerti perasaannya, berkata selugas mungkin tanpa perlu memikirkan perasaannya. Menyadarkan allea seberapa menyedihkannya dia sekarang, tapi dibalik itu semua allea menemukan satu celah asing yang ingin dia tinggali.

 

Sesuatu yang disebut kenyamanan.

 

*****

I Never Had Someone To Call My Own...

 

1 Bulan sudah terlewati begitu saja, dan vincent masih berada disisi allea. Selalu menjadi orang pertama yang allea lihat saat bangun dan orang terakhir saat dirinya tertidur. Tapi pagi ini allea tidak mendapati siapapun diruangannya,

 

“apa dia sudah menyerah?” gumam allea sembari mengucek pelan kedua matanya,

 

Selama 1 bulan ini dia benar-benar dihadapkan oleh sosok allea pengidap ingatan jangka pendek. Allea terus-terus melupakan banyak hal secara cepat, meski ingatannya kembali dengan cepat, tetap saja jangka waktu untuk melupakannya itu terlalu dekat dan terlalu sering.

 

Allea membasuh wajahnya diwastafel kamar mandi, menatap kearah wajahnya yang basah. Terlihat noda kehitaman samar dibawah matanya, beberapa hari kebelakang allea sedikit kesulitan tidur. Sudah mendekati musim gugur jadi udara sedikit lebih dingin, allea mengurung niat untuk mandi.

 

Berjalan gontai kearah mini kitchen, sudut matanya sedikit melirik kearah tempat dimana seharusnya ada orang disana. “tchh..” decaknya,

 

Hening bergerumbul yang terdengar hanya suara uap yang mulai memanaskan air, allea menopang keningnya dengan telapak tangan, kepalanya sedikit pusing. Gangguan tidur membuat kepala jadi sering sakit, dan juga....TES....TES....

 

Allea menangis, mengalir deras setelah sejak tadi ditahannya.

 

“shh..hahh...datanglah cepat, kumohon”

 

Ini bukan pertama kalinya bodyguard allea absen tiba-tiba, tapi ini untuk pertama kalinya allea menangisi hal itu. Allea mengutuk dirinya yang dengan mudah percaya dan lemah karna seseorang bernama vincent.

Seharusnya dia tau kalau tak ada satupun bodyguard yang akan bertahan lama. Sekalipun untuk seseorang yang menarik baginya. Satu hari absen bergulir cepat menjadi 2 minggu absen.

 

Dan allea masih tak bisa melupakan sosok vincent yang sudah sejak lama pergi dari pandangannya. Kalau biasanya allea bisa melupakan BG-nya dalam waktu 1 hari saja, tapi vincent berbeda allea masih mengingat semuanya. Bahkan setiap kali allea mengingat wajah vincent, ada perasaan rindu yang tak terelakkan dan disana saat-saat dimana allea mengutuk diri dan perasaannya.

 

Jarum jam bergerak tak hentinya membawa malam semakin larut dipukul 10 malam, allea sudah terbaring dikasurnya. Gangguan tidurnya masih dia idap, berdampak pada lingkaran hitamnya yang semakin terlihat. Sesekali allea akan bergantung pada obat tidur tapi dokter tidak menyarankan itu digunakan secara rutin hanya ketika tubuh allea benar-benar lelah saja akibat treatment pengobatan.

 

Tubuh allea juga menjadi sedikit lebih kurus, padahal tubuhnya yang normal bisa dibilang sudah kurus. Kepalanya gusar bergerak kekanan-kekiri mencari posisi yang nyaman tapi allea masih tak bisa tidur.

 

“ishh...aku ingin tidur” diraihnya ponsel yang ada dinakas dengan tangan yang terbalut perban akibat jarum infus,

 

[allea]

Hari ini kau tidak datang lagi ya?

Sudah beberapa hari aku tidak bisa tidur, bisakah kau datang malam ini  saja?

 

Lagi-lagi mengirim pesan pada vincent dijadikan pengalihan insomnianya. Meski dia tau tak satupun dari pesannya akan dibalas, namun allea masih mengharapkan hadirnya. Satu hari saja, kalau satu hari terlalu banyak biarkan satu jam. Satu jam saja diberi kesempatan untuk bertemu vincent lagi, mungkin akan membantu allea untuk bisa tidur. Allea hanya ingin tidur saat ini.

 

JJEGGARR!!...

 

Suara gemuruh yang memecahkan keheningan malam membangun tidur allea yang hampir lelap. Hujan deras disertai angin dan diiringi gemuruh terdengar begitu jelas dari dalam ruangannya. Bahkan angin masih bisa menyibakkan tirai yang jendelanya tertutup rapat,

 

Allea menyembunyikan wajahnya dibalik selimut, bernafas dengan tenang sembari berhitung. Suara gemuruh kadang suka memicu panic attacknya, apalagi kalau gemuruh itu datang tiba-tiba dengan suara yang besar. Hujan yang seperti itu membuatnya takut.

 

CKLLEKK...

 

Suara hujan menyamarkan suara pintu yang baru saja tertutup. Seseorang masuk kedalam ruangan allea yang hanya diterangi lampu yang ada dinakas, orang itu berjalan dengan begitu pelannya. Berhati-hati agar tak membangunkan seseorang yang difikirnya sudah tidur, sampai dia melihat selimut yang membalut tubuh gemetaran itu ikut bergetar.

 

Selimut itu disibakkannya sedikit, menampil wajah yang nampak jelas begitu ketakutan dengan tubuh yang meringkuk sepenuhnya. Gemetaran dengan mata yang menutup erat.

 

“allea”

 

JJEGGARR.....

 

“uuhh!!” nafasnya semakin tak karuan karna suara gemuruh yang tiba-tiba datang, suara yang memanggilnya pun tak terdengar. Allea masih tak sadar ada orang lain dikamarnya yang kini duduk disisi ranjang memperhatikan allea yang gemetaran dengan sesekali tersentak kaget karna suara gemuruh.

 

“al..”suara lembut tak bertubuh itu perlahan terdengar jelas ditelinga allea, sesuatu yang hangat meraih sisi wajahnya yang dipenuhi keringat dingin. Kepalanya yang tadinya miring diarahkan untuk menghadap lurus.

 

Namun, mata allea masih terpejam. Vincent tau benar allea ketakutan,

 

“ini aku al” vincent menundukkan tubuhnya, melepas tautan tangan allea yang gemetaran meluruskannya dibawah sana. Salah satu tangannya masih berada disisi wajah allea, menempelkan keningnya pelan dikening allea.

 

Merasakan keringat basah itu juga mengenainya, perlahan kerut disekitar mata allea melemah. Dirinya mulai merasa tak sendirian, sesuatu yang familiar mulai menggorogoti sela-sela hidungnya. Aroma seseorang yang selama ini dirindukannya,

 

Matanya terbuka perlahan, retinanya yang masih samar mencoba beradaptasi dengan sesuatu yang lebih dulu menatap matanya. Nafasnya ditarik dalam lalu dihembuskan cepat, pelupuknya berair karna kelegaan tiba-tiba mengosongkan takutnya.

 

“v-vin...”

 

“aku datang, al”

 

/////

 

Jam 2 malam hujan mulai mereda, allea terjaga dengan vincent yang duduk bersila kaki dikursi disebelah sisi ranjang yang dekat dengan wajah allea. Allea menggenggam erat tangan vincent diatas perutnya, ibu jari vincent menyeka pelan air mata yang menetes disisi mata kiri allea.

 

“jangan menangis al, aku sudah disini”

 

“aku merindukanmu, bodoh” senyum vincent mengembang menatap gemas kearah sisi allea yang selalu ingin terlihat kuat.

 

“maaf karna tidak mengabarimu terlalu lama, tapi terima kasih untuk semua pesannya”

 

“kau membacanya?” vincent mengangguk dengan senyum, “tapi tidak membalas? Padahal aku hampir gila menunggumu”

 

“maaf..maaf...aku baru membaca saat sampai dirumah tadi, aku datang karna pesan terakhirmu”

 

“kalau aku tidak mengirim pesan tadi, apa kau tidak akan datang?”

 

Vincent menidurkan kepalanya disisi ranjang, bergerak sedikit untuk bertengger dibahu allea. Dagu allea bertengger dipucuk kepalanya, hidungnya menghirup aroma rumah sakit yang begitu familiar ditubuh allea. Suhu tubuhnya memberi kesan hangat kala vincent menghirup nafas.

 

“jawab aku vin, apa kau tidak akan dat......Aku akan datang allea”

 

“apa kau akan pergi tiba-tiba untuk waktu yang lama lagi?” vincent tak langsung menjawab pertanyaan allea soal itu, tidak bisa dipastikannya.

 

“aku pasti akan kembali datang”

 

“aku tanya apa kau akan pergi lagi?”

 

Degup jantung vincent dipercepat, ada celah tipis akibat goresan perih dibenaknya. Rasanya begitu sakit dan sesak, begitupun untuk allea. Ada banyak hal yang tak diketahuinya soal vincent membuat rasa takut akan perginya.

 

“jawab aku vin! Apa kau akan pergi lagi?” ketiga kalinya pertanyaan menyakitkan itu dilontarkan, “iya” tiga huruf singkat yang sempat kelu untuk dikatakan vincent,

 

“beritahu aku dulu vin, jangan tiba-tiba. Itu menyakitkan”

 

‘maafkan aku al’ gumam vincent dalam hatinya. Satu hal lagi yang tak mungkin vincent bagi dengan allea, perihal kepergiannya kekroasia hanya untuk mengurus tuntutannya yang sudah ditetapkan kapan harinya akan tiba. Mungkin sampai hari itu, vincent tak akan membongkar apapun.

 

Benang antara dirinya dan allea terlalu indah. Dia tak ingin sesuatu merusaknya.

 

*****

Cause All My Life I’ve Been Fighting...

 

Suhu udara yang dingin mengusik tidur allea, bergerak kecil merespon ketidaknyamanannya akan suhu. Mata allea yang dipaksa terbuka melirik sekilas kearah perutnya yang ditimpa sesuatu yang berat. Tangan seseorang ada disana sembari menggenggam tanganya.

 

Sedetik kemudian allea menyadari sesuatu disebut rambut menggelitik area lehernya kala ia menoleh sedikit menumpukan dagunya pada kepala seseorang. Ditatapnya mata yang masih tertutup itu, bahunya naik turun begitu stabil dan tenang.

 

“terima kasih” bisik allea pelan sembari mengelus pelan kepala vincent dengan sisi wajahnya,

 

Suara jarum jam memenuhi seisi ruang, langitnya mendung. Tak lama kemudian suara air yang runtuh dari langit terdengar begitu deras, membasahi segala hal yang ada dibawahnya. Allea tak bisa kembali tidur, lagipula ini sudah hampir pukul 7 pagi.

 

Enggan membangun vincent yang nampak jelas kelelahan dirautnya. Tapi sepertinya dingin mengusik tidurnya juga. Vincent bergerak secara perlahan mendudukkan tubuhya dikursi sembari bersandar. Matanya masih tertutup, pegal dibagian punggungnya menjalar akibat posisi tidur yang tidak benar. Allea yang menyadari hal itu bergeser sedikit memberi ruang yang cukup agar vincent bisa berbaring disebelahnya,

 

“tidur disini vin” ucap allea dengan suara pelan, vincent membuka matanya melihat ruang yang diberi allea. Tentu saja vincent merasa ragu untuk mengisi ruang itu,

 

“tidak apa-apa sini” vincent menurut, berbaring disebelah allea. Berbagi selimut yang sama menghangatkan, bantalnya langsung terasa nyaman begitu ditiduri. Allea dan vincent saling berhadapan. Menyisakan sedikit jarak,

 

“kalau aku tidur tidak apa-apa al?” allea tersenyum mengarahkan tangannya kesisi wajah vincent memberi usapan lembut diwajahnya,

 

“hm....tidur yang nyenyak vincent”

 

/////

 

Ohokk...ohokk...

 

Tenggorokan allea terasa begitu kering dan sakit  tak ingin mengganggu vincent, allea segera bangkit dari kasurnya beranjak untuk mengambil minum. Tapi tidak membantu menghilangkan sakitnya. Allea keluar kamarnya pukul 10 pagi untuk therapy, lewat jendela-jendela koridor allea bisa lihat jelas bagaimana hujan masih senangnya mengguyur. Mengeratkan coat kala angin dingin menembusnya,

 

Perawat akan meminta allea untuk berganti pakaian steril lalu therapy dimulai, ada banyak hal yang dilakukan semua alat dipasangkan bergantian diseluruh tubuh allea. Allea sudah terbiasa dengan ini, lagipula dia melakukan ini hampir setiap hari bagaimana bisa dia tidak terbiasa.

 

Pukul 2 siang setelah jam makan siang allea diantar kekamarnya dengan kursi roda, hari ini dalam keadaan terbius dan akan bangun sekitar 1 jam kedepan. Vincent membantu perawat membaringkan allea dikasurnya,

 

“ehm..maaf saya mau tanya apa treatmentnya tidak berjalan lancar?” tanya vincent pada seorang perawat yang membawa allea,

 

“treatmentnya berjalan lancar seperti biasa, apa ada sesuatu?”

 

‘lancar ya?.....’

 

“wajahnya terlihat lebih pucat”

 

“tidak apa-apa itu hanya efek sehabis treatment, kami permisi” kedua perawat itu keluar kamar allea. Menyisakan vincent yang tidak setuju atas jawaban mereka.

 

‘dia pucat bukan karna efek sehabis treatment, dia ini kelelahan’

 

ALZHEMAIR

 

Kata yang diketikanya pada layar komputer. Pada hitungan detik google menampilkan jawabannya, dibaca dengan seksama salah satu blog yang dibukanya.

 

‘Penyakit progresif yang mengganggu fungsi otak seperti memori dan perilaku, bertanggung jawab atas 60-80% penyebab kasus demensia. Alzhemair ditandai gejala demensia dan akan memburuk seiring berjalannya waktu, biasanya dalam hitungan tahun’

 

Roda pada mouse terus digerakkan kebawah dengan telunjuknya, mata vincent menscan dengan seksama lalu mengirimkan pada otak untuk memahami secara detail tentang apa yang dibacanya.

 

‘Gejala berat yang akan timbul pada stadium lebih lanjut berkembang menjadi sangat berat, sampai pada tahap pengidap mengalami perubahan perilaku ekstem seperti kesulitan berbicara, menelan dan berjalan. Gejala ekstrem lainnya adalah insomnia, halusinasi, depresi, serta kecemahan berlebih’

 

Vincent menghentikan gerakan telunjuknya, menatap lurus kearah layar dengan tangan yang bertumpu pada meja, meletakkan mulutnya diantara ibu jari dan telunjuk. Otaknya sedang memproses seperti apa keadaan allea saat ini,

 

“meski ada beberapa treatment pengobatan tapi sebenarnya itu hanyala treatment pencegahan agar alzhemair allea tidak sampai pada stadium yang gawat” vincent menoleh kearah allea yang masih terbaring menutup mata,

 

‘bagaimana kalau dia kelelahan bukan karna semua treatment yang dijalaninya, melainkan karna pencegahannya? Ini sudah tahun keberapa dia berada disini...apa allea tau seperti apa sebenarnya penyakit ini?...’

 

“kalau alzhemair ini berdampak pada kerja tubuhnya, lalu setelahnya apa...setelah seluruh tubuhnya dimatikan karna otak yang tidak bisa merespon...Setelahnya apa?..”

 

Vincent berjalan kearah allea, duduk disisi ranjangnya menggenggam tangan yang baru disadarinya lebih kurus dari terakhir kali bertemu. Ibu jari vincent mengusap noda hitam dibagian bawah mata allea, vincent baru menyadari. Dia baru menyadari bagaimana selama ini allea melawan penyakitnya sampai dia kelelahan seperti ini.

 

Ada perasaan tak adil karna diumurnya yang masih muda allea sudah harus dihadapkan penyakit yang mungkin bisa kapan saja membuatnya tak membuka mata. Selama ini vincent hidup dimedan pertempuran, menghabisi nyawa dengan mudahnya seolah harga satu nyawa setara dengan satu peluru yang menghabisinya. Begitu mudahnya,

 

Sampai vincent merasa begitu beruntung bertemu sosok kuat seperti allea. Tubuhnya lemah tapi sosoknya kuat, seperti bunga dandelions. Diterbangkan angin begitu mudahnya, percaya tanah akan menerimanya, tumbuh, bertahan hidup lalu diterbangkan kembali. Sama seperti allea,

 

Saat ini dia sedang bertahan hidup diatas penyakitnya, percaya akan satu hal kalau hidupnya tak akan mati semudah itu meski sudah berkali-kali diterbangkan angin kenyataan. Namun, allea masih bertahan sampai sekarang.

 

Mungkin sampai titik dimana allea akan menanggalkan tunasnya dan pergi tanpa harus kembali tumbuh.

 

“kau pasti sangat menderita ya?” vincent berbisik disebelah telinga allea, perasaan yang awalnya hanya karna kepedulian kini berubah. Vincent ingin selalu berada disisi allea, menjadi tempat untuk allea bergantung.

 

Dia ingin direpotkan lebih dari seorang bodyguard. Ada senyum allea yang ingin dilihatnya tulus tanpa harus berpura-pura, ada tubuh sehat allea yang ingin dipeluknya erat. Ada tangan hangat allea yang ingin digenggamnya tanpa rasa khawatir akan terlepas.

 

Meski vincent sadar benang yang terikat antara keduanya tak sekuat itu untuk bertahan lama.

 

‘sampai saat itu tiba, izinkan aku untuk mencintaimu lebih dari ini allea’

 

*****

I’m So Used To Sharing...

 

Allea terbangun dipagi penghujung bulan oktober yang akan kembali berganti. Kalau ingin tau kondisi allea sekarang, keadaannya tak ada yang berubah dari sebelumnya malah mungkin terlihat lebih memprihatinkan. Ternyata yang membuat allea kurus selama ini adalah karna allea tak tau lagi caranya menelan makanan. Itu terjadi saat vincent pertama kali meninggalkannya. Allea berfikir mungkin dia hanya kehilangan nafsu makan.

 

Vincent belum datang, dia bilang ada sesuatu yang harus diurusnya jadi dia akan datang terlambat. Karna matahari yang mulai meninggi juga mengharuskan allea untuk bangkit dari kasurnya menuju kamar mandi, menjejakkan kaki dengan tulangnya yang hampir terlihat.

 

Tangan allea bertumpu pada sisi wastafel, kakinya ini tidak bisa berdiri lama-lama. Membasuh wajahnya yang semakin pucat dengan air. Pandangannya nanar menghadap cermin yang menampilkan wajah pucatnya disertai darah yang mengalir dari hidungnya.

 

“eh??!!!” allea sedikit tak bergeming sedang memproses apa yang sedang terjadi. TES...TES... aliran drah itu mengenai air yang tertampung diwastafel menyebarkan warna merah secara cepat.

 

Beberapa detik kemudian tangan allea merespon untuk mengambil tisu didekatnya. Menyeka berkali-kali darah yang terus mengalir, selama beberapa menit terus dilakukannya. Entah sudah berapa banyak tisu yang berserakan dengan noda merah dilantai.

 

Tangan kanan allea memegang erat pegengan pada tiang infus, buku-buku jarinya berusaha mencari pijakan pada dinding. Kaki allea tak bisa digerakkan. Dalam situasi seperti ini allea masih mencoba untuk tenang meski tubuh bagian atasnya sudah bergemetar hebat.

 

‘kumohon, sampai dikasur saja’

 

Dengan langkah yang tertatih-tatih allea mencapai ambang pintu, nafasnya tersenggal-senggal keringatnya mengucur padahal tubuhnya merasa kedinginan. Pandangannya nanar menatap ponsel diatas nakas, dia harus meraihnya untuk memanggil seseorang datang meski saat ini mulutnya kelu.

 

Allea tau dia tak bisa terus-terusan berpegangan pada pintu karna sejujurnya tubuh bagian bawahnya sudah tak bisa merasakan apapun lagi.

 

‘siapapun....siapapun tolong aku...aku lelah, vincent’

 

BRAAKK....telinganya berdenging keras sebelum akhirnya semuanya gelap.

 

/////

 

“ALLEAA!!!!”

 

BRUUKK....

 

Semua barang bawaan ditangan vincent jatuh begitu saja menghantam lantai kala mendapati allea yang sudah terbaring dilantai. Setengah tubuhnya berada didalam kamar mandi, cairan infusnya pecah. Tak fikir panjang vincent segera memindahkan allea keatas kasur, mengesampingkan perasaan khawatirnya untuk memanggil seorang dokter.

 

Meski jantung vincent sudah berdegup begitu kencang mendapati wajah allea yang lebih pucat dari biasanya, hoseok yang bertugas sebagai dokter allea pun turut bergegas datang kekamarnya bersama 2 orang perawat lainnya.

 

Tindakan mereka begitu cepat menandakan kekhawatiran mereka tentang allea,

 

“d-dok.....”

 

“ada apa vin?” vincent terhenti didepan pintu kamar mandi, telunjuknya gemetaran menunjuk kearah dalam, “apa yang terjadi sebenarnya?” tanyanya, seorang perawat yang melihat kedalam pun langsung menahan nafas menutup mulutnya.

 

Tisu yang dipenuhi darah itu berserakan lebih banyak dari yang dibayangkan,

 

“vin, allea kekurangan darah”

 

‘sudah kuduga tisu dengan darah sebanyak itu, apa yang sebenarnya terjadi sialan!!’ benak vincent berteriak frustasi,

 

“kami akan lakukan transfusi darah” ranjang allea didorong keluar kamar, suara yang melewati koridor memecah keheningan menandakan keterburu-buruan mereka. Ada satu hal yang tidak hoseok beritahu, detak jantung allea melemah.

 

Vincent berdiri gusar didepan ruangan dimana allea sedang melakukan transfusi, seorang perawat dengan pakaian tebal menemui vincent dengan takut-takut,

 

“maaf, tapi apa keluarga nona allea bisa dihubungi, stok darah B kami hanya tersisa 1 kantung lagi untuknya sedangkan nona allea butuh sekitar 2 kantung”

 

Vincent terdiam sejenak, setahunya allea adalah anak adopsi. Kalaupun mereka memang kebetulan punya darah yang sama, saat ini jin dan jimin sedang ada diluar negri tidak akan sempat kembali.

 

“aahhh!!! SIALANN!!...BRAKKK!!” tinju dipenuhi energi frustasi itu melayang cepat mengenai dinding, vincent menarik nafas dalam lalu menghembuskannya perlahan.

 

“aku AB apa tidak bisa?” tanyanya ketika sudah tenang, “saya tanya dokter terlebih dahulu”, vincent duduk dikursi menautkan tangannya didepan kening. Matanya menutup rapat  meneriakkan doa penuh kekhawatiran, jantungnya berpacu dengan cepat.

 

‘kumohon....bertahanlah....allea!!...bertahanlah!!!’

 

“tuan vincent silahkan masuk”

 

////

 

Vincent sedikit kehilangan kesadarannya untuk beberapa saat, dia kembali bangun dengan rasa sakit menjalar dibagian lengannya. Langkahnya pelan menuju ranjang dimana allea terbaring dengan cairan darah dan infus dialirkan secara bersamaan dikedua tangannya.

 

‘kau pasti sangat lelah ya?, aku tidak akan pergi kemanapun jadi istirahat yang cukup ya jangan khawatir’ jemari pucat vincent mengusap pelan kening yang sekarang terasa hangat padahal tadi begitu dingin.

 

“vin, bisa bicara diluar?” suara tak bertubuh membuat vincent menoleh, itu hoseok.

 

Mereka berdua duduk dikursi panjang diluar ICU, menyisakan satu bagian kursi kosong diantara mereka,

 

“terima kasih sudah menyelamatkan allea...saat ini kondisinya stabil”

 

“apa yang terjadi?” vincent meminta penjelasan, dia ingin tau penyebab allea ditemukan tak sadarkan diri serta tisu yang berserakan dilantai kamar mandi.

 

“seperti yang kau tau, allea mengalami penurunan drastis, treatment pengobatannya tak lagi bisa menahan penyakit allea yang semakin memburuk” tangan vincent mengepal kuat mendengar ucapan hoseok, tak satupun kalimatnya dapat diterima. Meski begitu vincent tetap mendengarkan,

 

“allea sudah tak bisa lagi menelan, cairan infus dan beberapa makanan cair dimasukkan melalui darahnya, lalu sekarang gejalanya berimbas pada tubuh bagian bawah allea. Dia tak lagi bisa berjalan, tadi....kalau kau telat semenit saja hidup allea tak bisa diselamatkan, detak jantungnya begitu lemah ketika kuperiksa”

 

Vincent mengalihkan pandangannya menyembunyikan raut amarah diwajahnya, dialihkan pada kepalan tangan yang mengerat tak lagi dihiraukannya rasa menyengat bekas donor darah.

 

“apa tidak ada cara lain untuk menyembuhkannya?” suara vincent bergemetar jujur saja saat ini dia sedang sangat ingin menangis.

 

“alzhemair itu penyakit yang berasal dari pabrik dimana sel otak dibentuk, jadi treatment penyembuhan alzhemair hanya sekedar mencegahnya agar tak semakin parah”

 

Vincent menggigit bibir bawahnya menatap kearah lantai dipijakan kakinya, “aku sudah tau itu....yang kutanya apa kalian tidak ada cara lain untuk menyembuhkannya?!!..SREKK..BRAKK!!” vincent menarik paksa kerah jas hoseok, membawanya berdiri dan mengadu keras punggung hoseok kedinding. Tatapnya begitu tajam, sampai hoseok pun tak berani melihat,

 

“Sudah berapa tahun kalian menyekapnya disini?!! Kalau ternyata treatment kalian malah tak membuahkan hasil sama sekali!!! Dia itu.....apa kalian pernah bertanya selelah apa dia?!! Hah!! Jawab aku! apa kalian pernah bertanya!!”

 

“hei!! Hei apa-apaan kalian! Ini rumah sakit!” keributan yang dibuat vincent mengundang beberapa orang yang melihat melerai, menjauhkan vincent dari hoseok yang sama sekali tak bergeming dari tempatnya. Dia hanya membiarkan vincent untuk mengamuk, hoseok paham bagaimana marahnya vincent saat ini.

 

“Lepas!” dalam satu gerakan tangan perawat yang menahan vincent berhasil dijauhkan, langkahnya besar beranjak pergi. Vincent kembali kekamar allea, membersihkan barang-barangnya yang masih berserakan, matanya beralih pada buket bunga yang sudah rusak,

 

“bunga ini begitu cantik dan indah saat pertama kali aku lihat, jadi kufikir wajahmu juga terlihat begitu”

 

TRUSKK... buket yang sudah rusak itu dimasukkan vincent kedalam tong sampah.

 

Bunganya sudah rusak.

 

“aku akan berikan bunga yang baru untukmu”

 

*****

Loving Never Give Me A Home, So...

 

Larut malam tak mengganggu vincent yang masih terjaga, duduk disamping ranjang allea sembari menggenggam tangannya pelan menunggunya membuka mata. Entah kenapa sekarang melihat mata allea tertutup ada perasaan takut yang begitu familiar,

 

“bangunlah al aku sudah disini” ucapnya meneriakkan harap sembari menatap gadis yang masih enggan membuka mata didepannya,

 

“ppfftt....kau merindukanku?” segera vincent mendongakkan kepalanya, mata allea masih tertutup namun bibirnya melengkungkan senyum. Perlahan matanya mengerjap pelan, menyesuaikan sorot cahaya keretina.

 

Pandangan samarnya menangkap raut wajah seseorang yang sudah jelas dipenuhi kekhawatiran, allea tertawa kecil.

 

“hei” sapa allea dengan suara kecilnya, namun berhasil membuat pelupuk mata vincent berair. Jika bukan karna tubuh allea yang masih lemah vincent ingin sekali memeluknya erat.

 

“jangan menangis vin, itu menyakitkan” vincent meraih jemari allea yang gemetaran mengarah padanya, meletakkannya pada sisi wajah vincent membiarkan ibu jari allea menyeka matanya.

 

“boleh aku tidur disebelahmu?”, allea tersenyum dengan senang hati mengangguk pelan sembari bergeser memberi ruang untuk vincent. Vincent segera berbaring disebelah allea, tapi kali ini dirinya menempatkan allea dalam rangkulannya. Agar tetap membuat allea tidur telentang.

 

Tarikan nafasnya dalam dihembuskan perlahan sembari melempar pandang kelangit-langit kamar, terasa amat sangat bagaimana tubuh allea begitu ringan dalam rangkulannya.

 

“aku suka aroma perfumemu, vin”, suara parau nan rendah allea terdengar begitu menyanyat hati vincent. Rasanya ingin menyuruh allea berhenti bicara tapi itu pasti membuatnya berfikir dia menyedihkan.

 

“hujan akan turun ya? Suara gemuruhnya keras sekali”

 

“hmm...tapi jangan khawatir aku ada disini” balas vincent, kata-katanya sedikit terbata, lidahnya hampir saja kelu. Diluar memang begitu gelap, udara pun ikut merendah. Tapi tak ada gemuruh yang terdengar,

 

“siapa yang datang vin?”

 

Kali ini vincent tak menjawab karna memang tidak ada siapapun yang datang. Sampai allea bertanya berkali-kali dalam jangka waktu lebih dari 15 detik. Tak ada kata yang sanggup ia lontarkan, hanya lewat peluknya vincent berteriak.

 

“vin, kau tidak bisa mengingat wajahku ya?”

 

“b-bagaimana kau bisa tau?”

 

“jimin memberitahuku sejak awal”

 

Vincent terdiam seribu bahasa, keterkejutannya tak bisa ia tutupi. Berarti sejak awal allea tau kalau dirinya tak bisa mengenali wajahnya dengan baik. Tapi menerima vincent dengan hangatnya,

 

Vincent punya penyakit aneh yang membuatnya tak bisa mengenali wajah orang-orang disekitarnya, bahkan wajah orang tua vincent sendiri. Vincent bisa melihatnya tapi tidak untuk mengenal. Selama ini vincent mengenali anggota dan rekannya lewat nametag yang ada diseragam. Untuk mengenali musuhnya vincent membedakannya dengan seragam atau hal-hal lainnya, dan selama itu vincent tak pernah meleset dalam menjalani tugas.

 

Disebut sebagai the fox dalam medan perang, menjadikannya komandan yang tegas juga orang yang ditakuti musuh karna tatapan tajam serta cara membunuhnya yang tak kenal ampun. Ada yang bilang kesialan dari musuh vincent adalah karna mereka musuh vincent.

 

Kejadian 1 tahun silam yang mengakibatkan seragam berpangkatnya dicabut dan ditetapkan sebagai tersangka, adalah karna dirinya yang tak mengenali wajah musuh yang tidak boleh ia bunuh.

 

“syukurlah”, sontak vincent langsung mengarahkan pandang pada allea yang menatap lurus kearah langit-langit,

 

“dengan begitu kau akan mudah melupakanku” allea mengubah posisi tidurnya, kini wajahnya berhadapan dengan wajah vincent, menepis jarak keduanya. Senyum allea tak lupa untuk ditampilkan.

 

‘hentikan! Berhenti tersenyum al, itu menyakitkan’ benak vincent menatap lirih kearah allea,

 

“aku tidak ingin melupakanmu al”

 

“tidak boleh vin, saat ini saja aku bisa bertahan lewat cairan infus ini. Aku tak bisa menelan apapun, kakiku juga sudah tidak bisa digerakkan, bobot tubuhku menyusut begitu banyak, aku ini hidup tapi mati vin”

 

Tangan allea sedikit menarik bagian wajah vincent yang ditangkupnya agar melihat kearah mata allea,

 

“bukankah aku terlihat menyedihkan?”

 

“tidak al, tidak begitu...” ibu jari allea menahan pergerakan bibir vincent, “dengarkan aku vin, mulai sekarang jangan mendatangiku lagi, kau bisa pergi tanpa memberitahuku lebih dulu sekarang, kau tidak bisa mengingat wajahku... jadi jangan khawatir kau pasti cepat melupakanku, lagipula untuk apa kau mengingat wanita menyedihkan ini”

 

Vincent tak bisa menahan air dipelupuk matanya, sekuat tenaga ia tahan untuk tak dibiarkan lolos tapi nyatanya semua perkataan allea itu menyayatnya begitu sakit. Vincent yang dikenal kuat dan bengis sebagai the fox, dihadapan allea vincent hanya seorang laki-laki biasa yang mudah menangis.

 

“jadi pergi vin lupakan aku, temui wanita yang lebih cantik dan lebih sehat diluar sana, perihal aku tidak usah difikirkan. Lambat laun aku akan melupakanmu, kita, dan hidup ini”

 

Vincent mengeratkan peluknya, wajah allea menempel dilehernya. Tubuhnya terasa begitu dingin, vincent dapat merasakan tangis allea yang juga mengenainya.

 

“kalau aku tidak menurutimu jangan pedulikan aku, karna keputusanku untuk tidak meninggalkanmu itu hal mutlak, sudah terlambat jika kau memintaku untuk pergi”

 

Allea mendorong tubuh vincent dengan sisa kekuatannya mendudukkan tubuhnya yang lemah, menatap kosong kearah luar jendela.

 

“kau tidak akan bahagia bersamaku vin, aku sakit-sakitan, kau hanya akan terluka jika terus disini, aku akan meninggalkanmu”

 

“berhenti menyuruhku pergi al! Aku tidak akan pergi! Sampai kapanpun itu aku tidak akan pergi! Aku akan membawa ingatan tentangmu dimanapun aku berada” vincent menahan bahu allea agar menghadap kearahnya,

 

Allea menghela nafasnya ringan matanya memanas, “kenapa kau bersikeras seperti ini vin?”

 

Vincent menangkup wajah allea, menempelkan keningnya dimilik allea. Memberi waktu sejenak untuk saling tenggelam dalam tatap masing-masing, allea selalu suka hangat telapak tangan vincent yang menyentuhnya lembut. Nyaman.

 

“karna aku mencintaimu, allea”

 

*****

Someday,At Somewhere...

 

Vincent berjalan dengan langkah normal menyusuri koridor dengan buket bunga ditangannya menuju ruang yang kini menjadi tempat favoritenya. Namun, langkah vincent memasuki ruangan allea diurungkan kala mengintip dari celah pintu ada jin dan jimin didalam sana.

 

Tidak ingin merusak momen kakak beradik itu vincent memilih menunggu diluar ruangan duduk dikursi meletakkan buket disebelahnya.

 

SREEKK.... jimin keluar dari ruangan allea, senyum lebar yang diarahkan kepada allea hilang seketika pintu tertutup rapat. Jimin menghampiri vincent dan duduk disebelahnya,

 

“kalau tau seperti ini aku akan lebih cepat membawa coklat kesukaannya” jimin tertawa kecil melampiaskan bagaimana frustasinya dia mendapati allea dalam keadaan seperti itu.

 

“allea selalu bilang ‘aku bisa habiskan semua coklat ini sendirian’, tapi sekarang dia pasti butuh orang lain untuk menghabiskannya kan?”

 

Vincent sama sekali tak merespon, membiarkan jimin meluapkan segala keperihannya. Selama dihadapan allea jimin pasti berusaha sekuat tenaga agar tetap tersenyum,

 

“bagaimana ini vin...kami hanya ingin melihatnya kembali sehat sama seperti saat kami masih kecil dulu...tapi kenapa?...kenapa harus secepat ini? Allea itu...dia punya banyak mimpi...ssrukk”

 

Vincent menoleh sedikit kala mendengar isakan jimin, pertama kalinya vincent melihat sahabatnya itu menangis. Kalau sudah begitu pasti rasanya sangat menyakitkan.

 

“allea hanya butuh istirahat jim, dia sudah menahannya terlalu lama”

 

Jimin tersenyum menyeka air matanya, “hmm, kau benar. Kalau aku mengganggu istirahatnya lagi aku akan menjadi sosok kakak yang jahat”

 

“10 tahun tahanan penjara negara sampai bertemu lagi, vin” jimin tersenyum sembari mengarahkan kepalan tangan menunggu balasan vincent, “hm, sampai bertemu lagi” balas vincent, menempelkan buku-buku tangannya pada kepalan tangan jimin.

 

/////

 

Jin dan jimin baru saja pergi meninggalkan rumah sakit, allea terbaring dengan bagian atas kasur yang sedikit terangkat menahan punggungnya. Berusaha sekuat tenaga untuk tersenyum kala sorot mata menangkap vincent yang berjalan mendekat.

 

“beli buket lagi?” vincent mengangguk meletakkan buketnya diatas pangkuan allea, lalu duduk disisi ranjang menghadap kearahnya.

 

“baby breath ya...indah” ucap allea sembari memandangi buket bunga dipangkuannya, “iya indah seperti allea...cup”

 

Vincent mengecup singkat kening allea, menarik tengkuk allea dengan sangat pelan kedalam peluknya. Vincent selalu membeli bunga yang sama seperti pertama kali dia membelinya, dan itu bukan baby breath.

 

“vin sebentar lagi senja kan, aku ingin melihat langitnya lebih dekat boleh?”

 

Penolakan besar terjadi dibenak vincent. Dia tidak ingin menuruti permintaan allea, karna permintaannya terdengar seperti perpisahan. Tapi...vincent segera menepis fikiran tidak perlu itu, saat ini mungkin allea memang hanya ingin melihat sunset. Lagipula langitnya terlalu indah kalau sekedar dilihat dari dalam kamar.

 

“ayo ke roof”

 

Vincent mendorong kursi roda dimana allea terduduk, menyelimutinya dengan futon tebal agar tak kedinginan.

 

TING..

 

Lift yang membawa mereka keroof terbuka, menampilkan halaman luas tak bertudung namun bersih. Vincent membawa allea ketengah bagian roof, menghadap lurus kearah sang surya yang mulai tenggelam. Semburat orangenya mulai mengenai sang biru.

 

“aku ingin duduk dibawah bersamamu”

 

Saat ini pilihan vincent hanya harus menuruti keinginan allea, dibentangkannya kain untuk menjadi alas duduk mereka. Duduk dibelakang allea, menahan punggung allea dengan tubuhnya. Futon menyelimuti keduanya, angin musim dingin mulai begitu terasa.

 

“huhh....indahnya, kalau begini aku bisa beristirahat dengan tenang” vincnet melirik sedikit kearah mata allea yang berbinar menatap warna orange diujung sana. Genggaman allea menguat membawa tangan vincent kedepan perutnya,

 

“vin...” panggil allea pelan,

 

“hmm...”

 

“dibalik lukisan diatas meja komputer, aku menyimpan sesuatu untukmu disana”

 

Mata vincent membesar agak sedikit kaget mendengarnya, “apa perlu kuambil sekarang?”, allea menggeleng, “tidak, ambil nanti saja. Sekarang temani aku untuk beristirahat”

 

Vincent menelan salivanya berat, fikirannya terus menepis kemungkinan buruk yang akan terjadi tapi sepertinya takdir tak pernah gentar menamparnya dengan kenyataan. Rasa sakit nan sesak menjalar sampai keseluruh tubuh vincent, untuk pertama kalinya dia merasa sangat amat takut ditinggalkan.

 

Padahal vincent sudah sering ditinggalkan, teman seperjuangan dimedan perang, anggotanya, teman yang menjadi musuhnya. Ada banyak hal yang diambil darinya,

 

Mohonnya pun terus berteriak jangan mengambil allea darinya, allea itu sosok yang dibiarkan vincent masuk kedalam hidupnya. Berpengaruh besar atas bagaimana vincent memandang, tapi apa daya kalau teriaknya itu hanya menggema pada ruang-ruang hampa penuh harap.

 

“al, setelah semua ini selesai. Mari bertemu lagi sebagai dua orang yang saling mengenal. Mari melukis kehidupan baru dimana aku akan memelukku dengan kau yang menggendong bayi kecil. Aku berjanji akan menemukanmu bahkan dikehidupan selanjutnya, sampai hari itu tiba izinkan aku tetap mencintaimu”

 

Allea tertawa kecil, kalimat vincent memberinya bayangan seberapa indahnya hal itu jika terjadi. Peluk allea mengerat, rasanya sangat tak ingin melepaskan tapi tubuhnya sudah benar-benar tak bisa menahan lagi.

 

“senjanya sudah mau berakhir” ucap allea, vincent setuju.

 

Warna jingga mulai mempekat, begitu indah menyebar keseluruh penjuru. Udara mulai terasa menurun, burung-burung melintas terbang untuk pulang kesarang mereka, menjadikan cahaya orange itu teman perjalanan. Suasananya begitu hening dan tenang,

 

“aku istirahat dulu ya vin, sampai saat aku membuka mata mari bertemu lagi”

 

Vincent terdiam sejenak memproses apa yang baru saja terjadi. Dalam hituangan detik genggaman allea ditangannya terlepas. Punggung allea yang tertabrak detak jantung vincent mulai terasa dingin.

 

Sinar matahari yang mulai menyorot lurus kewajahnya memberi sentuhan merah dipucatnya. Bulu mata lentiknya tertutup rapat begitu tenangnya, bibir tipis berwarna merah muda itu mengatup namun nampak tersenyum. Tak ada lagi pergerakan bahu yang naik turun, allea sudah benar-benar berisirahat.

 

TES..TES.. air mata yang mengalir mengenai pipi allea segera disekanya, tidak mau meninggalkan noda sedikitpun diwajah cantik wanitanya itu.

 

“kenapa baru sekarang aku mengenali wajahmu al”

 

Vincent mendekap tubuh tak bernyawa itu dengan eratnya. Melepaskan tangis penuh kesakitan dibaliknya, enggan untuk melepaskan, enggan tau selanjutnya apa. Saat ini yang vincent inginkan adalah satu kali lagi kesempatan untuk melihat matanya, satu kali saja.

 

“farewell cantik, sampai bertemu lagi”

 

/////

 

Seorang pria bertubuh tinggi keluar dari gerbang yang selama ini mengurungnya untuk kurun waktu yang lama. Sambutan angin musim gugur membuatnya mengeratkan coat coklat yang dikenakan. Menghirup udara banyak-banyak setelah sekian lama menghirup aroma kriminal didalam sana,

 

Matanya menatap kearah pohon maple yang mulai berguguran daunnya, senyumnya mengembang kala tangannya mengeratkan genggaman pada passport dan tiket pesawat didalamnya. Beranjak pergi sembari menarik koper ditangan kirinya,

 

Dalam hening dia berkata, ‘aku kembali’ meminta tolong pada angin untuk disampaikan pada sosok yang selalu dirindukannya. Melewati banyaknya cerita musim gugur dan kembali pada musim gugur lagi. Musim paling romantis. Setujunya mengacung, dimusim ini kisahnya begitu romantis namun juga tragis menyisakan bekas luka indah yang tak pernah ingin dilupakan bagaimana cerita dibaliknya.

 

“selamat datang kembali vin”

 

Peluk hangat dari jin dan jimin menyambut kedatang vincent dibandara, masa tahanannya selesai. Mata saling memandang melepas rindu, ada banyak yang berubah. Jimin sudah terlihat lebih dewasa dari 10 tahun lalu, jin datang bersama istri dan anaknya.

 

“ingin menemuinya?”

 

“iya, aku pergi sendiri”

 

“pergilah, dia yang paling merindukanmu”

 

Kakinya melangkah menyusuri koridor demi koridor, melewati belokan-belokan yang masih begitu diingatnya. Suara pintu yang terbuka pun masih terdengar sama, ruangan didalamnya tak ada yang berubah. Rapi, bersih, dan kosong.

 

Langkah vincent besar menuju bagian tengah ruangan, menghirup aroma rumah sakit yang begitu dominan disini. Kembali memutar cerita 10 tahun silam yang masih tersimpan rapi diingatannya. Telapaknya mengenai kasur rapi yang dingin, fikirannya melukis seseorang yang selalu terbaring disini.

 

‘apa kabarmu disana?’ pertanyaan dalam gemanya tak terjawab, tapi itu tidak apa-apa.

 

Kakinya kembali melangkah kini berhenti didepan meja komputer, matanya menatap kearah lukisan yang ada diatasnya. Memisahkannya dari dinding sejenak untuk melihat ada apa dibaliknya. Benar saja ada sesuatu, amplop berwarna coklat yang diikat dengan tali xxxx terselip dibagian bawah lukisan. Segera diambilnya lalu kembali menyatukan lukisan dan dindingnya.

 

Kini tempatnya berganti, dengan tangan yang menggenggam buket bunga lily putih dia menyusuri jalan melewati makam-makam disisi kanan dan kirinya. Dirinya duduk bersila kaki dihadapan nisan bertuliskan nama kekasihnya itu.

 

‘ALLEA PARK’ ditulis menurun mengikuti nisan yang memanjang.

 

“hei, lama tidak bertemu. Maaf aku datang terlalu lama, ini bunga lily untukmu, cantik sepertimu” vincent meletakkan buket dihadapan makam allea, setelah sekian lama dia agak sedikit kikuk. Matanya hanya memandangi nama allea dinisannya,

 

“aku membawa suratmu, maaf karna harus 10 tahun dulu untuk membacanya. Aku ingin membaca ini bersamamu”

 

‘hai vin, sebelumnya aku minta maaf jika tulisannya sulit dibaca tanganku sudah sulit bergerak. Hmm....aku hanya ingin berterima kasih untuk banyak hal, untuk waktu singkat yang begitu berharga, untuk malam-malam mengerikan yang kau selamatkan, untuk sosokmu yang selalu jadi penenang.

 

Kuharap kau hidup untuk waktu yang lama, menghabiskan waktu bersama keluargamu. Jangan khawatir setelah ini aku sudah akan sangat baik-baik saja, aku akan melihatmu dari atas sana, berdoa untuk kebahagiaanmu.

 

Hm..aku tidak tau harus tulis apa lagi.

 

Mari bertemu lagi vin, suatu hari disuatu tempat dimana aku akan mendatangimu sebagai seorang yang sehat. Terimakasih untuk membawaku dalam ingatanmu, dan untuk hal-hal yang belum terlewati....aku akan tetap mencintaimu, vincent’

 

Vincent bangkit dari duduknya, memasukkan kembali surat allea kedalam sakunya. Memandang sebentar kearah nisan allea, senyumnya begitu hangat terbayang akan bagaimana hangatnya senyum allea kearahnya. Langkah pertama yang diambilnya membuka jalan untuk langkah-langkah setelahnya. Membawa punggungnya menjauh dari nisan dan bunga lily putihnya.

 

Buku tentang kisah vincent dan allea ditutup disana, kisah cinta yang dipertemukan, diikat begitu rentannya dengan benang usang, lalu dipisahkan untuk saling menyembuhkan. Sekarang sudah tidak apa-apa, kisahnya sudah selesai.

 

Namun, harap keduanya masih akan hidup bahkan dikehidupan selanjutnya.

Komentar